Tugas
mulia yang diemban para guru atau ustaz di pesantren masa sekarang
semakin tidak mudah. Perilaku para santri (yang masih remaja) dengan
mudah terpengaruh oleh pesatnya perkembangan teknologi informasi seperti
Google, Yahoo, Facebook, Twitter dan sebagainya. Demikian pula media
elektronik (TV, radio dan video). Yang terpengaruh bukan hanya perilaku
secara umum, tapi juga perilaku seksual.
Tak heran bila para
guru/ustaz di pesantren tidak dituntut untuk berfokus semata pada
pengajaran kitab-kitab kuning semacam “Uqud Al Lujjayn”, “Qurrat Al
‘Uyun”, dan “Fathul Izar”. Mereka juga ditantang untuk tidak gagap
teknologi serta memiliki informasi yang akurat dan benar, guna
mengarahkan para santri ke jalan yang benar.
Salah satu hal yang
banyak dicari para santri dengan sembunyi-sembunyi alias bergerilya
adalah informasi mengenai kesehatan reproduksi dan perkembangan
seksualitas. Ini mereka lakukan sebab mereka merasa pengetahuan para
asatiz itu terbatas. Sayangnya, akibat mencari sendiri, para santri
kerap mendapat informasi yang justru tidak akurat — dan membuat mereka
rentan mengalami penyimpangan perilaku sosial.
Upaya menutup
pintu akses informasi memang bisa saja dilakukan. Akan tetapi tidak ada
jaminan bahwa masa remaja yang punya rasa keingintahuan besar tidak
berupaya membobol akses bila ada kesempatan. Di sini berlaku kaidah,
“Jika ada dua mudarat (hal negatif) yang bersinggungan, maka tinggalkan
yang lebih berat, lakukan mudarat yang paling ringan.”
Keberadaan
peer educator (pendidik sejawat) di kalangan guru/ustaz sangat
diperlukan untuk mendampingi proses dan membina para remaja di saat
mereka masih melewati masa-masa kritis dalam usia perkembangan. Melihat
kebutuhan ini, Pondok Pesantren Sunan Drajat Lamongan pun membentuk peer
educator di kalangan guru/ustaz, baik di Madrasah Aliyah maupun
pesantren.
Keberadaan peer educator diharapkan menjalin
komunikasi antara sesama guru/asatiz sehingga mereka bisa berdiskusi dan
saling bertukar informasi mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas
remaja.
Dengan begini, setiap guru/ustaz bisa bertambah bekal
pengetahuan dan referensinya ketika berkomunikasi dengan para
siswa/santri. Mereka dapat menjadi konselor dalam memberikan informasi
yang benar seputar kesehatan reproduksi dan perkembangan seksualitas,
serta memberikan arahan dan solusi bagi murid.
Para santri pun
tidak perlu lagi bergerilya mencari-cari informasi seputar reproduksi
dan seksualitas. Guru/ustaz mereka adalah tempat yang tepat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar