Selasa, 31 Mei 2016

SHALAT DHUHA, PENGGANTI SEDEKAH PERSENDIAN
Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyariatkan shalat-shalat sunnah untuk menyempurnakan ibadah shalat wajib yang terkadang tidak dapat sempurna pahalanya. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ فَإِنْ صَلُحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ فَإِنْ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ قَالَ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَيُكَمَّلَ بِهَا مَا انْتَقَصَ مِنْ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ يَكُونُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى ذَلِكَ
Sesungguhnya amalan yang pertama kali dihisab dari seorang hamba ialah shalatnya. Apabila baik, maka ia telah beruntung dan selamat; dan bila rusak, maka ia telah rugi dan menyesal. Apabila kurang sedikit dari shalat wajibnya , maka Rabb Azza wa Jalla berfirman, “Lihatlah, apakah hamba-Ku memiliki shalat tathawwu’ (shalat Sunnah),” lalu disempurnakanlah dengannya yang kurang dari shalat wajibnya tersebut, kemudian seluruh amalannya diberlakukan demikian. [HR at-Tirmidzi]. Dan di antara yang disyariatkan ialah shalat Dhuha.
KEUTAMAAN SHALAT DHUHA
1. Mencukupkan sedekah sebanyak persendian manusia, yaitu 360 persendian, sebagaimana dijelaskan dalam hadits:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنْ الضُّحَى. (أخرجه مسلم).
Dari Abu Dzar, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau telah bersabda: “Di setiap pagi, ada kewajiban sedekah atas setiap persendian dari salah seorang kalian. Setiap tasbiih adalah sedekah, setiap tahmiid adalah sedekah, setiap tahliil adalah sedekah, setiap takbiir adalah sedekah, amar makruf nahi mungkar adalah sedekah. Dan dapat memadai untuk semua itu, dua rakaat yang dilakukan pada waktu Dhuha”.[1]
Juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
فِي الْإِنْسَانِ ثَلَاثُ مِائَةٍ وَسِتُّونَ مَفْصِلًا فَعَلَيْهِ أَنْ يَتَصَدَّقَ عَنْ كُلِّ مَفْصِلٍ مِنْهُ بِصَدَقَةٍ قَالُوا وَمَنْ يُطِيقُ ذَلِكَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ قَالَ النُّخَاعَةُ فِي الْمَسْجِدِ تَدْفِنُهَا وَالشَّيْءُ تُنَحِّيهِ عَنْ الطَّرِيقِ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فَرَكْعَتَا الضُّحَى تُجْزِئُكَ
“Dalam diri manusia ada 360 persendian, lalu diwajibkan sedekah dari setiap sendinya,” mereka bertanya,”Siapa yang mampu demikian, wahai Nabi Allah?” Beliau menjawab,”Memendam riak yang ada di masjid dan menghilangkan sesuatu (gangguan) dari jalanan. Apabila tidak mendapatkannya, maka dua raka’at shalat Dhuha mencukupkanmu.” [2]
2. Allah Subhanahu wa Ta’alamenjaga orang yang shalat Dhuha empat rakaat pada hari tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam hadits:
عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ أَوْ أَبِي ذَرٍّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّهُ قَالَ ابْنَ آدَمَ ارْكَعْ لِي مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ أَكْفِكَ آخِرَهُ أخرجه الترمذي. قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ
Dari Abu Dardaa’ atau Abu Dzar, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dari Allah Subhanahu wa Ta’alabahwa Allah berfirman: “Wahai Bani Adam, shalatlah untuk-Ku pada awal siang hari empat rakaat, niscaya Aku menjagamu sisa hari tersebut”.[3]
3. Shalat Dhuha merupakan shalat al-awwâbîn. Yaitu orang yang banyak bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang berbunyi:
لاَ يُحَافِظُ عَلَى صَلاَةِ الضُّحَى إِلاَّ أَوَّابٌ قَالَ وَهِيَ صَلاَةُ الأَوَّابِيْنَ. (أخرجه الحاكم).
Tidaklah menjaga shalat Dhuha kecuali orang yang banyak bertaubat kepada Allah.[4]
HUKUM SHALAT DHUHA[5]
Para ulama berselisih tentang hukum shalat Dhuha dalam beberapa pendapat sebagai berikut.
1. Hukumnya sunnah mutlak, dan disunnahkan melakukannya setiap hari.
Demikian ini madzhab mayoritas ulama, yang berargumentasi dengan beberapa dalil.
a. Keumuman hadits-hadits tentang keutamaan shalat Dhuha sebagaimana telah disebutkan terdahulu.
b. Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang berbunyi:
أَوْصَانِي خَلِيلِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلَاثٍ صِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَكْعَتَيْ الضُّحَى وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَنَامَ
Kekasihku Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berwasiat kepadaku dengan tiga hal: puasa tiga hari setiap bulan, dua rakaat Dhuha dan Witir sebelum tidur. [Muttafaqun ‘alaihi].
Syaikh Ibnu ‘Utsaimîn rahimahullah menyatakan, hadits ini menunjukkan bahwa shalat Dhuha adalah sunnah mutlak yang dilakukan setiap hari.[6]
c. Hadits Mu’âdzah al-‘Adawiyah ketika bertanya kepada ‘Âisyah dengan sebuah pertanyaan:
كَمْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي صَلَاةَ الضُّحَى قَالَتْ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ وَيَزِيدُ مَا شَاءَ
“Dahulu, berapa rakaat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Dhuha?” Beliau menjawab,”Empat rakaat, dan menambah sesukanya”.[7]
2. Hukumnya sunnah, namun tidak dilakukan setiap hari.
3. Hukumnya bukan sunnah, inilah pendapat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma
4. Shalat Dhuha hanya disunnahkan karena faktor tertentu.
Pendapat ini dirajihkan Ibnu Taimiyyah rahimahullah dan Ibnul-Qayyim rahimahullah.
Menurut beliau (Ibnul-Qayyim), barang siapa yang menelaah hadits-hadits marfu’ dan atsar sahabat, tentu akan menyimpulkannya hanya mendukung pendapat ini. Adapun hadits-hadits yang berupa anjuran dan wasiat untuk melakukannya, maka yang shahîh darinya, seperti hadits Abu Hurairah dan Abu Dzar Radhiyallahu anhuma tidak menunjukkan jika shalat Dhuha sebagai sunnah yang terus dikerjakan untuk setiap orang.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan kepada Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dengan wasiat itu, karena telah diriwayatkan bahwa Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dahulu memilih belajar hadits pada malam hari dari pada shalat, lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan melakukannya pada waktu Dhuha sebagai ganti shalat malam. Oleh karena itu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk tidak tidur kecuali setelah berwitir, dan tidak memerintahkan hal itu kepada Abu Bakar, ‘Umar dan seluruh sahabat lainnya radhiyallahu ‘anhum.[8]
Sedangkan Ibnu Taimiyyah rahimahullah, setelah menjelaskan sunnahnya shalat Dhuha, beliau rahimahullah menyatakan, masalahnya apakah yang lebih utama melakukannya secara terus-menerus ataukah tidak, karena mencontoh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Demikian ini yang menjadi perselisihan para ulama. Yang rajih dikatakan, barang siapa yang kontinyu melakukan shalat malam, maka itu mencukupinya dari melakukan shalat Dhuha terus-menerus, sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu demikian. Barang siapa yang tidak melakukan shalat malam, maka shalat Dhuha menjadi pengganti shalat malam.[9]
Adapun yang rajih dari pendapat-penpat tersebut, Insya Allah adalah pendapat pertama, karena keumuman anjuran melakukan shalat Dhuha. Demikian pula yang dirajihkan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah. Beliau menyatakan, yang rajih ialah sunnah mutlak yang terus-menerus dilakukan. Sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ
(Setiap hari wajib bersedekah bagi setiap persendian dari salah seorang kalian).
Para ulama menjelaskan, bahwa pada tubuh manusia terdapat 360 jumlah persendian, sehingga setiap orang harus bersedekah 360 sedekah setiap hari. Yang dimakusdkan dengan sedekah ini bukan berupa harta, tetapi berupa amalan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَفِي كُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنْ الضُّحَى
(Setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, amar makruf nahi mungkar adalah sedekah. Mencukupkan dari itu semua dua rakaat yang dilakukan di waktu Dhuha).
Berdasarkan hadits ini, maka kami berpendapat bahwa hukum shalat Dhuha ialah sunnah yang selalu dikerjakan, karena kebanyakan manusia tidak mampu memberikan sedekah hingga 360 sedekah.[10] Wallahu a’lam.
WAKTU PELAKSANAAN SHALAT DHUHA
Waktu shalat Dhuha dimulai dari terbitnya matahari hingga menjelang matahari tergelincir (zawâl). Sedangkan akhir waktu Dhuha, yaitu dengan tergelincirnya matahari yang menjadi awal waktu Zhuhur.
Secara rinci Syaikh Ibnu ‘Utsaimîn menjelaskan bahwa waktu Dhuha berawal setelah matahari terbit seukuran tombak, yaitu sekitar satu meter. Adapun dalam perhitungan jam, yang ma’ruf ialah sekitar 12 menit, atau untuk lebih hati-hati sekitar 15 menit. Apabila telah berlalu 15 menit dari terbit matahari, maka hilanglah waktu terlarang dan masuklah waktu untuk bisa menunaikan shalat Dhuha. Sedangkan akhir waktunya, ialah sekitar sepuluh menit sebelum matahari tergelincir. [11]
Dalil yang menjadi penetapan awal waktu Dhuha, yaitu hadits Abu Dzar yang berbunyi:
عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّهُ قَالَ ابْنَ آدَمَ ارْكَعْ لِي مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ أَكْفِكَ آخِرَهُ أخرجه الترمذي.
Dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dari Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwa Allah berfirman: “Wahai Bani Adam, shalatlah untuk-Ku pada awal siang hari empat rakaat, niscaya Aku menjagamu pada sisa hari tersebut”.
Adapun jeda sebelumnya, karena ada larangan shalat sebelum matahari tergelincir. Oleh karena itu, Syaikh Ibnu ‘Utsaimîn rahimahullah menyatakan, “Jika demikian, waktu shalat Dhuha dimulai setelah keluar dari waktu larangan pada awal siang hari (pagi hari) sampai adanya larangan saat tengah hari”.[12]
WAKTU PALING UTAMA
Adapun waktu paling utama dalam pelaksanaan shalat Dhuha ialah di akhir waktunya. Demikian menurut penjelasan Syaikh Ibnu ‘Utsaimîn rahimahullah, dan hal ini dijelaskan oleh hadits:
أَنَّ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ رَأَى قَوْمًا يُصَلُّونَ مِنْ الضُّحَى فَقَالَ أَمَا لَقَدْ عَلِمُوا أَنَّ الصَّلَاةَ فِي غَيْرِ هَذِهِ السَّاعَةِ أَفْضَلُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ
Sesungguhnya Zaid bin Arqam melihat satu kaum melakukan shalat Dhuha, lalu ia berkata: “Apakah mereka belum mengetahui bahwa shalat pada selain waktu ini lebih utama? Sesungguhnya, dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, shalat al-awwabîn (ialah) ketika anak onta kepanasan”.[14]
JUMLAH RAKA’AT DAN TATA CARA SHALAT DHUHA
Seorang muslim disyariatkan melakukan shalat Dhuha dua rakaat, atau empat, atau enam, atau delapan, atau lebih tanpa ada batasan tertentu. Inilah yang dirajihkan Syaikh Ibnu ‘Utsaimîn rahimahullah sebagaimana beliau telah menyatakan, bahwa pendapat yang benar, tidak ada batasan maksimalnya, karena ‘Aisyah berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الضُّحَى أَرْبَعًا وَيَزِيدُ مَا شَاءَ الله
(Dahulu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat Dhuha empat rakaat, dan menambahnya sangat banyak).[15]
Seandainya seseorang mengerjakannya sejak matahari terbit seukuran tombak sampai menjelang matahari tergelincir, misalnya 40 rakaat, maka semua ini termasuk dalam shalat Dhuha.[16]
Adapun pelaksanaannya, semua dilakukan dengan dua rakaat dua rakaat berdasarkan keumuman sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
صَلَاةُ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ مَثْنَى مَثْنَى
Sholat dhuha adalah salah satu sholat sunnah yang istimewa. Dalam sejumlah hadits shahih disebutkan berbagai keutamaannya. Bagaimana tata cara sholat dhuha?

Syarat sah sholat dhuha

Syarat sah sholat dhuha sama seperti sholat pada umumnya. Sebelum sholat disyaratkan suci dari hadats kecil dan hadats besar; suci badan, pakaian dan tempat dari najis; menutup aurat; tahu masuknya waktu sholat tersebut; dan menghadap kiblat.

Waktu sholat dhuha

Waktu sholat dhuha terbentang sejak matahari naik hingga condong ke barat, tapi yang lebih utama adalah seperempat siang. Di Arab, waktu itu ditandai dengan padang pasir terasa panas dan anak unta beranjak. Sebagaimana sabda Rasulullah:

أَنَّ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ رَأَى قَوْمًا يُصَلُّونَ مِنَ الضُّحَى فَقَالَ أَمَا لَقَدْ عَلِمُوا أَنَّ الصَّلاَةَ فِى غَيْرِ هَذِهِ السَّاعَةِ أَفْضَلُ. إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ صَلاَةُ الأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ


Bahwasanya Zaid bin Arqam melihat orang-orang mengerjakan shalat Dhuha (di awal pagi). Dia berkata, “Tidakkah mereka mengetahui bahwa shalat di selain waktu ini lebih utama. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Shalat orang-orang awwabin (taat; kembali pada Allah) adalah ketika anak unta mulai kepanasan’” (HR. Muslim)

Shalat Dhuha yang Begitu Menakjubkan



Dzikir Setelah Sholat Dhuha Dzikir Setelah Sholat Dhuha Sesuai Sunnah Shalat Dhuha Doa Setelah Sholat Dhuha Sesuai Sunnah Dalil Sholat Dhuha
Setiap orang pasti senang untuk melakukan amalan sedekah. Bahkan kita pun diperintahkan setiap harinya untuk bersedekah dengan seluruh persendian. Ternyata ada suatu amalan yang bisa menggantikan amalan sedekah tersebut yaitu shalat dhuha. Simak saja pembahasan berikut ini.
Keutamaan Shalat Dhuha
Di antara keutamaannya, shalat Dhuha dapat menggantikah kewajiban sedekah seluruh persendian
Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda,
يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلاَمَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْىٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى
Pada pagi hari diharuskan bagi seluruh persendian di antara kalian untuk bersedekah. Setiap bacaan tasbih (subhanallah) bisa sebagai sedekah, setiap bacaan tahmid (alhamdulillah) bisa sebagai sedekah, setiap bacaan tahlil (laa ilaha illallah) bisa sebagai sedekah, dan setiap bacaan takbir (Allahu akbar) juga bisa sebagai sedekah. Begitu pula amar ma’ruf (mengajak kepada ketaatan) dan nahi mungkar (melarang dari kemungkaran) adalah sedekah. Ini semua bisa dicukupi (diganti) dengan melaksanakan shalat Dhuha sebanyak 2 raka’at.[1]
Padahal persendian yang ada pada seluruh tubuh kita sebagaimana dikatakan dalam hadits dan dibuktikan dalam dunia kesehatan adalah 360 persendian. ‘Aisyah pernah menyebutkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّهُ خُلِقَ كُلُّ إِنْسَانٍ مِنْ بَنِى آدَمَ عَلَى سِتِّينَ وَثَلاَثِمَائَةِ مَفْصِلٍ
Sesungguhnya setiap manusia keturunan Adam diciptakan dalam keadaan memiliki 360 persendian.”[2]
Hadits ini menjadi bukti selalu benarnya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun sedekah dengan 360 persendian ini dapat digantikan dengan shalat Dhuha sebagaimana disebutkan pula dalam hadits berikut,
أَبِى بُرَيْدَةَ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « فِى الإِنْسَانِ سِتُّونَ وَثَلاَثُمِائَةِ مَفْصِلٍ فَعَلَيْهِ أَنْ يَتَصَدَّقَ عَنْ كُلِّ مَفْصِلٍ مِنْهَا صَدَقَةً ». قَالُوا فَمَنِ الَّذِى يُطِيقُ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « النُّخَاعَةُ فِى الْمَسْجِدِ تَدْفِنُهَا أَوِ الشَّىْءُ تُنَحِّيهِ عَنِ الطَّرِيقِ فَإِنْ لَمْ تَقْدِرْ فَرَكْعَتَا الضُّحَى تُجْزِئُ عَنْكَ »
“Dari Buraidah, beliau mengatakan bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Manusia memiliki 360 persendian. Setiap persendian itu memiliki kewajiban untuk bersedekah.” Para sahabat pun mengatakan, “Lalu siapa yang mampu bersedekah dengan seluruh persendiannya, wahai Rasulullah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan, “Menanam bekas ludah di masjid atau menyingkirkan gangguan dari jalanan. Jika engkau tidak mampu melakukan seperti itu, maka cukup lakukan shalat Dhuha dua raka’at.”[3]
An Nawawi mengatakan,  “Hadits dari Abu Dzar adalah dalil yang menunjukkan keutamaan yang sangat besar dari shalat Dhuha dan menunjukkannya kedudukannya yang mulia. Dan shalat Dhuha bisa cukup dengan dua raka’at.”[4]
Asy Syaukani mengatakan,  “Hadits Abu Dzar dan hadits Buraidah menunjukkan keutamaan yang luar biasa dan kedudukan yang mulia dari Shalat Dhuha. Hal ini pula yang menunjukkan semakin disyari’atkannya shalat tersebut. Dua raka’at shalat Dhuha sudah mencukupi sedekah dengan 360 persendian. Jika memang demikian, sudah sepantasnya shalat ini dapat dikerjakan rutin dan terus menerus.”[5]
Keutamaan shalat Dhuha lainnya disebutkan dalam hadits berikut,
عَنْ نُعَيْمِ بْنِ هَمَّارٍ الْغَطَفَانِىِّ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يَا ابْنَ آدَمَ لاَ تَعْجِزْ عَنْ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ أَكْفِكَ آخِرَهُ ».
Dari Nu’aim bin Hammar Al Ghothofaniy, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: Wahai anak Adam, janganlah engkau tinggalkan empat raka’at shalat di awal siang (di waktu Dhuha). Maka itu akan mencukupimu di akhir siang.[6]
Penulis ‘Aunul Ma’bud –Al ‘Azhim Abadi- menyebutkan, “Hadits ini bisa mengandung pengertian bahwa shalat Dhuha akan menyelematkan pelakunya dari berbagai hal yang membahayakan. Bisa juga dimaksudkan bahwa shalat Dhuha dapat menjaga dirinya dari terjerumus dalam dosa atau ia pun akan dimaafkan jika terjerumus di dalamnya. Atau maknanya bisa lebih luas dari itu.”[7]
Hukum Shalat Dhuha
Menurut pendapat yang paling kuat, hukum shalat Dhuha adalah sunnah secara mutlaq dan boleh dirutinkan. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah dalil yang menunjukkan keutamaan shalat Dhuha yang telah disebutkan. Begitu pula shalat Dhuha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wasiatkan kepada Abu Hurairah untuk dilaksanakan. Nasehat kepada Abu Hurairah pun berlaku bagi umat lainnya. Abu Hurairah mengatakan,
أَوْصَانِى خَلِيلِى – صلى الله عليه وسلم – بِثَلاَثٍ صِيَامِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ، وَرَكْعَتَىِ الضُّحَى ، وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَنَامَ
Kekasihku –yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- mewasiatkan tiga nasehat padaku: [1] Berpuasa tiga hari setiap bulannya, [2] Melaksanakan shalat Dhuha dua raka’at, dan [3] Berwitir sebelum tidur.[8]
Asy Syaukani mengatakan, “Hadits-hadits yang menjelaskan dianjurkannya shalat Dhuha amat banyak dan tidak mungkin mencacati satu dan lainnya.”[9]
Sedangkan dalil bahwa shalat Dhuha boleh dirutinkan adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari ‘Aisyah ,
أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” ’Aisyah pun ketika melakukan suatu amalan selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya. [10]
Waktu Pelaksanaan Shalat Dhuha
Shalat Dhuha dimulai dari waktu matahari meninggi hingga mendekati waktu zawal (matahari bergeser ke barat).[11] Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin menjelaskan bahwa waktunya adalah mulai dari matahari setinggi tombak –dilihat dengan pandangan mata- hingga mendekati waktu zawal. Lalu beliau jelaskan bahwa waktunya dimulai kira-kira 20 menit setelah matahari terbit, hingga 10 atau 5 menit sebelum matahari bergeser ke barat.[12] Sedangkan Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) menjelaskan bahwa waktu awal shalat Dhuha adalah sekitar 15 menit setelah matahari terbit.[13]
Jadi, silakan disesuaikan dengan terbitnya matahari di masing-masing daerah dan kami tidak bisa memberitahukan jam pastinya shalat Dhuha tersebut dimulai dan berakhir. Dan setiap hari waktu terbit matahari pun berbeda.
Sedangkan waktu utama mengerjakan shalat Dhuha adalah di akhir waktu[14], yaitu keadaan yang semakin panas. Dalilnya adalah,
أَنَّ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ رَأَى قَوْمًا يُصَلُّونَ مِنَ الضُّحَى فَقَالَ أَمَا لَقَدْ عَلِمُوا أَنَّ الصَّلاَةَ فِى غَيْرِ هَذِهِ السَّاعَةِ أَفْضَلُ. إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « صَلاَةُ الأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ ».
Zaid bin Arqom melihat sekelompok orang melaksanakan shalat Dhuha, lantas ia mengatakan, “Mereka mungkin tidak mengetahui bahwa selain waktu yang mereka kerjakan saat ini, ada yang lebih utama. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “(Waktu terbaik) shalat awwabin (nama lain untuk shalat Dhuha yaitu shalat untuk orang yang taat atau kembali untuk taat[15]) adalah ketika anak unta merasakan terik matahari.[16]
An Nawawi mengatakan, “Inilah waktu utama untuk melaksanakan shalat Dhuha. Begitu pula ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa ini adalah waktu terbaik untuk shalat Dhuha. Walaupun boleh pula dilaksanakan ketika matahari terbit hingga waktu zawal.”[17]
Jumlah Raka’at Shalat Dhuha
Jumlah raka’at shalat Dhuha, minimalnya adalah dua raka’at sedangkan maksimalnya adalah tanpa batas, menurut pendapat yang paling kuat[18]. Jadi boleh hanya dua raka’at, boleh empat raka’at, dan seterusnya asalkan jumlah raka’atnya genap. Namun jika ingin dilaksakan lebih dari dua raka’at, shalat Dhuha tersebut dilakukan setiap dua raka’at salam.
Dalil minimal shalat Dhuha adalah dua raka’at sudah dijelaskan dalam hadits-hadits yang telah lewat. Sedangkan dalil yang menyatakan bahwa maksimal jumlah raka’atnya adalah tak terbatas, yaitu hadits,
مُعَاذَةُ أَنَّهَا سَأَلَتْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – كَمْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى صَلاَةَ الضُّحَى قَالَتْ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ وَيَزِيدُ مَا شَاءَ.
Mu’adzah pernah menanyakan pada ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha- berapa jumlah raka’at shalat Dhuha yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? ‘Aisyah menjawab, “Empat raka’at dan beliau tambahkan sesuka beliau.[19]
Bolehkah Seorang Pegawai (Bawahan) Melaksanakan Shalat Dhuha?
Mungkin setiap pegawai punya keinginan untuk melaksanakan shalat Dhuha. Namun perlu diperhatikan di sini bahwa melaksanakan tugas kantor tentu lebih utama daripada melaksanakan shalat Dhuha. Karena menunaikan tugas dari atasan adalah wajib sedangkan shalat Dhuha adalah amalan yang sunnah. Maka sudah seharusnya amalan yang wajib lebih didahulukan dari amalan yang sunnah. Hal ini berbeda jika kita menjalankan usaha sendiri (wirausaha) atau kita adalah pemilik perusahaan, tentu sekehendak kita ingin menggunakan waktu. Sedangkan kalau kita sebagai bawahan atau pegawai, kita tentu terikat aturan pekerjaan dari atasan.
Maka kami nasehatkan di sini, agar setiap pegawai lebih mendahulukan tanggung jawabnya sebagai pegawai daripada menunaikan shalat Dhuha. Sebagai solusi, pegawai tersebut bisa mengerjakan shalat Dhuha sebelum berangkat kantor. Lihat penjelasan waktu shalat Dhuha yang kami terangkan di atas.
Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) pernah menjelaskan, “Tidak selayaknya bagi seorang pegawai melalaikan pekerjaan dari atasan yang hukumnya lebih wajib dari sekedar melaksanakan shalat sunnah. Shalat Dhuha sudah diketahui adalah shalat sunnah. Oleh karenanya, hendaklah seorang pegawai tidak meninggalkan pekerjaan yang jelas lebih wajib dengan alasan ingin melaksanakan amalan sunnah. Mungkin pegawai tersebut bisa melaksanakan shalat Dhuha di rumahnya sebelum ia berangkat kerja, yaitu setelah matahari setinggi tombak. Waktunya kira-kira 15 menit setelah matahari terbit.” Demikian Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah no. 19285.[20]
Bolehkah Melaksanakan Shalat Dhuha secara Berjama’ah?
Mayoritas ulama ulama berpendapat bahwa shalat sunnah boleh dilakukan secara berjama’ah ataupun sendirian (munfarid) karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan dua cara ini, namun yang paling sering dilakukan adalah secara sendirian (munfarid). Perlu diketahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat bersama Hudzaifah; bersama Anas, ibunya dan seorang anak yatim; beliau juga pernah mengimami  para sahabat di rumah ‘Itban bin Malik[21]; beliau pun pernah melaksanakan shalat bersama Ibnu ‘Abbas.[22]
Ibnu Hajar Al Asqolani ketika menjelaskan hadits Ibnu ‘Abbas yang berada di rumah Maimunah dan melaksanakan shalat malam bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau rahimahullah mengatakan, “Dalam hadits ini menunjukkan dibolehkannya melakukan shalat sunnah secara berjama’ah.”[23]
An Nawawi tatkala menjelaskan hadits mengenai qiyam Ramadhan (tarawih), beliau rahimahullah mengatakan, “Boleh mengerjakan shalat sunnah secara berjama’ah. Namun pilihan yang paling bagus adalah dilakukan sendiri-sendiri (munfarid) kecuali pada beberapa shalat khusus seperti shalat ‘ied, shalat kusuf (ketika terjadi gerhana), shalat istisqo’ (minta hujan), begitu pula dalam shalat tarawih menurut mayoritas ulama.”[24]
Ada sebuah pertanyaan yang pernah diajukan pada Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullahmengenai hukum mengerjakan shalat nafilah (shalat sunnah) dengan berjama’ah. Syaikh rahimahullahmenjawab,
“Apabila seseorang melaksanakan shalat sunnah terus menerus secara berjama’ah, maka ini adalah sesuatu yang tidak disyari’atkan. Adapun jika dia melaksanakan shalat sunnah tersebut kadang-kadang secara berjama’ah, maka tidaklah mengapa karena terdapat petunjuk dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal ini seperti  shalat malam yang beliau lakukan bersama Ibnu ‘Abbas[25]. Sebagaimana pula beliau pernah melakukan shalat bersama Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dan anak yatim di rumah Ummu Sulaim[26], dan masih ada contoh lain semisal itu.”[27]
Namun kalau shalat sunnah secara berjama’ah dilakukan dalam rangka pengajaran, maka ini diperbolehkan karena ada maslahat. Ibnu Hajar ketika menjelaskan shalat Anas bersama anak yatim di belakang Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam secara berjama’ah, beliau mengatakan, “Shalat sunnah yang utama adalah dilakukan secara munfarid (sendirian) jika memang di sana tidak ada maslahat seperti untuk mengajarkan orang lain. Namun dapat dikatakan bahwa jika shalat sunnah secara berjama’ah dilakukan dalam rangka pengajaran, maka ini dinilai lebih utama, lebih-lebih lagi pada diri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang bertugas untuk memberi contoh pada umatnya, -pen).”
Intinya adalah:
1. Shalat sunnah yang utama adalah shalat sunnah yang dilakukan secara munfarid (sendiri) dan lebih utama lagi dilakukan di rumah, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
    فَصَلُّوا أَيُّهَا النَّاسُ فِى بُيُوتِكُمْ ، فَإِنَّ أَفْضَلَ الصَّلاَةِ صَلاَةُ الْمَرْءِ فِى بَيْتِهِ إِلاَّ الْمَكْتُوبَةَ
    Hendaklah kalian manusia melaksanakan shalat (sunnah) di rumah kalian karena sebaik-baik shalat adalah shalat seseorang di rumahnya kecuali shalat wajib.” (HR. Bukhari no. 731)
    2. Terdapat shalat sunnah tertentu yang disyari’atkan secara berjama’ah seperti shalat tarawih.
    3. Shalat sunnah selain itu –seperti shalat Dhuha dan shalat tahajud- lebih utama dilakukan secara munfariddan boleh dilakukan secara berjama’ah namun tidak rutin atau tidak terus menerus, akan tetapi kadang-kadang.
    4. Jika memang ada maslahat untuk melakukan shalat sunnah secara berjama’ah seperti untuk mengajarkan orang lain, maka lebih utama dilakukan secara berjama’ah.